Persepsi itu kemudian menjadi azimat dirinya yang menggerakkan seluruh kudrat hidupnya demi dakwah yang tercinta . Ustadz Rahmat, ketika ia menimba ilmu di pesantren Asy Syafiiyah di bawah asuhan KH Abdullah Syafii. Bakat besar dan pemikirannya yang cemerlang, menjadikan Ustadz Rahmat dikagumi oleh setiap orang, terutama gurunya, KH Abdullah Syafii, yang menjadikan Ustad Rahmat muda sebagai murid kesayangannya.

Ustadz Rahmat muda mulai merintis kariernya sebagai guru selulus dari Asy Syafiiyah. Selain di almamaternya, ia juga mengajar di sekolah dasar Islam lainnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Perjalanan karier yang dipilihnya itu kemudian mempertemukannya dengan guru keduanya, Ustadz Bakir Said Abduh yang mengelola Rumah Pendidikan Islam (RPI). Melalui ustadz lulusan perguruan tinggi di Mesir itu, Ustadz Rahmat banyak membaca buku-buku karya ulama Ikhwanul Muslimin, salah satunya adalah buku Da’watuna (Hasan Al-Bana) yang kemudian ia terjemahankan menjadi Dakwah Kami Kemarin dan Hari Ini (Pustaka Amanah).

Situasi ini, membuat potensi bakat Ustadz Rahmat Abdullah terserlah dengan banyaknya Pembacaannya yang luas , mulai dari kitab Arab klasik yang sudah sulit dicari, sampai buku-buku sastra dan budaya. Ia pun dikenal sebagai daie yang lengkap, kerana tidak hanya menguasai ilmu-ilmu Islam yang “standard” tetapi juga persoalan-persoalan semasa.

Potret kepimpinan Ustadz Rahmat terlihat ketika ia membina para pemuda di lingkungan rumahnya di kawasan Kuningan. Ustadz Rahmat menggunakan pendekatan yang masih sangat "asing" di kalangan dai, iaitu dengan grup teater yang didirikannya. Para pemuda itu diasuhnya dalam organisasi bernama Pemuda Raudhatul Falah (PARAF) yang menghidupkan masjid Raudhatul Falah di kawasan Kuningan dengan kegiatan-kegiatan keislaman.

Pementasan grup teater binaan Ustadz Rahmat muda itu mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Salah satunya adalah pementasan berjudul Perang Yarmuk. Pada pementasan inilah, Ustadz Rahmat dan para pemuda PARAF harus berhadapan dengan "penguasa tempatan" yang cuba membubarkan pementasan.

Akibat pementasan itu, Ustadz Rahmat diwajibkan lapor. Tapi, hingga hari ini, Ustadz Rahmat tidak pernah mahu mengikut perintah yang menyekat kebebasan itu. “Saya tidak akan pernah datang ke kantor kalian,” kata Ustadz Rahmat kepada Suryo, seorang mata-mata gelap yang bertugas mengintipnya. “Kalau ibu saya yang memanggil, baru saya mau datang.”

Keteguhan pada prinsip dan ketegasan sikapnya itulah yang membuat Suryo beralah. Hingga bertahun kemudian keteguhan dan ketegasan itu tetap terpelihara dengan baik, meski Almarhum harus terlibat dalam wasilah (sarana) dakwah bernama parti. Ia tetap dikenal sebagai guru pengajian, menjadi inspirasi kaum muda yang progresif dan berfikiran jauh ke depan. Undangan daurah satu ke daurah yang lain tetap dihadirinya. Tak ada yang berubah, termasuk ciri khas yang menjadi warisan dari kedua orang tuanya yang mulia: kesederhanaan.

Ustadz Rahmat memang berada di peringkat tertinggi parti (Paratai Keadilan Sejahtera, PKS), serta terpilih pula sebagai wakil rakyat di DPR pusat. Namun, ia kerap dilihati sedang menunggu bas kota untuk menghadiri sebuah undangan. Ia kerap dilihat berjalan kaki untuk jarak yang cukup jauh. Tak ada yang berubah, karena ia sadar betul bahwa langkah itulah yang dimulainya dulu sebagai permulaan di jalan dakwah.

Hingga akhirnya, di sebuah hari yang sibuk dan berat, Ustadz Rahmat merasakan tanda-tanda kesihatannya terganggu. Namun, rasa tanggung jawabnya yang besar terhadap amanah dakwah, membuat ia tak begitu mempedulikan tanda-tanda itu.

Ia masih terlibat dalam sebuah syura penting. Lalu, saat adzan berkumandang dan ia beranjak untuk memenuhi panggilan suci itu, ia berjalan ke tempat wudhu. Saat berwudhu, tanda-tanda itu makin kuat, menyekat pembuluh darah di bagian lehernya. Ia cuba untuk menyempurnakan wudhunya, tapi rasa sakit yang merejam-rejam kepalanya membuatnya rebah.

Disaksikan oleh Ustadz Mahfudzi, salah seorang muridnya, Ustadz Rahmat nyaris terjatuh. Ustadz Mahfudzi cepat memapahnya, lalu mencuba menyelamatkan situasi. Tetapi Allah lebih sayang kepada Ustadz Rahmat Abdullah. Innalillahi wa innailaihi raaji’uun…Syaikhut Tarbiyah itu meninggalkan kita dengan senyum yang amat tulus…hujan air mata dari seluruh pelosok tempat mengiringi kepulangan beliau.