Lahir dengan nama Muhammad Darwis pada tahun 1868 M bertepatan dengan 1285 H, di Kauman, Yogyakarta. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman seorang ulama dan khatib terkenal di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta saat itu yang jika diteruskan, maka garis keturunan KH. Ahmad Dahlan akan sampai ke Maulana Malik Ibrahim seorang wali besar dan salah satu wali yang berpengaruh di antara wali songo. Sedangkan ibunya Nyai Abu Bakar adalah putri KH. Ibrahim bin KH. Hasan, pejabat Kapengulon Kesultanan di Yogyakarta.
Pendidikan agama pertama kali ia terima langsung dari orangtuanya. Saat itu kebiasaan anak-anak kiai Kauman adalah belajar ilmu Fiqh, Al-qur’an, tata bahasa Arab, seperti nahwu dan sharaf, hadis dan ilmu-ilmu lainnya, mereka pun belajar pencak silat. Karena saat itu kondisi masyarakat sekitar jika belajar di sekolah milik penjajah maka akan dicap sebagai kafir. Maka pusat kegiatan mereka dalam menimba ilmu adalah masjid atau surau.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan dan iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Mekah ia menikah dengan Siti Walidah binti Haji Fadhil seorang pahlawan nasional dan pendiri Aisyiyah yang kelak akan lebih dikenal dengan sebutan Nyai Ahmad Dahlan yang masih saudara dari garis ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
Ahmad Dahlan adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang luas. Meskipun usianya baru dua puluh tahun, ia mulai merintis jalan pembaruan di kalangan umat Islam. Misalnya, membetulkan arah kiblat shalat pada masjid yang dipandang tidak tepat arahnya yang sesuai dengan perhitungan menurut ilmu falakiyah yang dikuasainya. Usaha ini sempat menimbulkan insiden yang membuat diri dan istrinya hampir saja meninggalkan Kauman Yogyakarta selamanya. Kemudian memberikan pelajaran agama di sekolah negeri yang saat itu tidak pernah dilakukan oleh kyai lainnya.
Ahmad Dahlan juga sangat memperhatikan kaum dhuafa, anak yatim, dan fakir miskin agar selalu diperhatikan dan diayomi. Hal ini selalu ia ingatkan kepada murid-muridnya agar selalu memperhatikan dan menolong kaum dhuafa tersebut. Pernah suatu ketika beliau memberikan pelajaran kepada murid-muridnya tentang surat Al-Ma’un. Namun, surat Al-Ma’un ini selalu beliau ulang-ulang dalam setiap pertemuan pengajian sehingga menimbulkan protes dari murid-muridnya. Setelah dijelaskan lalu setelah pengajian selesai dan murid-muridnya masing-masing membawa anak yatim dan disantuni secukupnya.
Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :
“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).
Dari pesan itu tersirat sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.
Sikap dan perilaku kiai Ahmad Dahlan yang berhaluan modernis mulai dikenal secara luas sebagai orang muda yang rasional dan kritis terhadap agama. Kehadirannya telah menarik perhatian sejumlah kalangan kiai di sekitarnya dan kalangan priyayi yang terlibat pergerakan dan pendidikan. Kiai Ahmad Dahlan muda yang selalu haus akan ilmu pengetahuan agama tersalurkan keinginannya dengan cara berguru ngaji kepada sejumlah kiai. Di antaranya kepada Kiai Mohammad Nur, kakak iparnya sendiri, KH. Said, Kiai Mukhsin, Kiai Abdul Hamid di Lempuyangan, R. Ng. Sosrosugondo (ayahanda dari Ir. Suratin tokoh sepakbola), dan R. Wedana Dwijosewoyo. Untuk ilmu hadis ia belajar kepada Kiai Makhfudh dan Syaikh Khaiyat. Untuk ilmu falak ia berguru kepada KH. Dahlan dari Semarang putra dari Kiai Termas yang juga menantu Kiai Sholeh Darat dari Semarang, juga memperoleh bimbingan dari Syaikh Mohammad Jamil Jambek dari Bukittinggi.
Kiai Ahmad Dahlan selain menjabat sebagai khatib Amin di Kapengulon, dipercaya pula untuk mengajarkan dasar-dasar agama Islam di sekolah-sekolah negeri, seperti di sekolah guru atau Kweekschool sering disebut Sekolah Raja di Jetis Yogyakarta; Sekolah Pamong Praja atau Osvia (Opleidingschool Voor Inlandsch Ambtenaren) di Magelang.
Pengalaman terlibat dalam dunia sekolah dan cita-citanya yang ingin memperbarui umat Islam lewat perubahan pemikiran, sikap dan perilaku memutuskan bahwa ia harus segera mendirikan sekolah agama, tetapi juga memberikan waktu bagi mata pelajaran ilmu pengetahuan.
Seperti kiai-kiai pada masa tersebut, sebelum Kiai Ahmad Dahlan mengimplementasikan pemikirannya untuk mendirikan sekolah tersebut, ia melaksanakan shalat istikharah berulang-ulang kali dan menyampaikan gagasannya ini kepada rekan-rekannya yang aktif dalam pendidikan dan pergerakan Budi Utomo. Setelah itu, ia bertambah yakin untuk mendirikan sekolah. Maka ia mendirikan sekolah yang diberi nama “Sekolah Muhammadiyah” yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah) yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mengajarkan ilmu pengetahuan umu dan huruf latin sesuai dengan keinginan semula.
Selanjutnya guna menyebarluaskan pemikirannya tentang pembaruan Islam di Indonesia ini dan mewujudkan perintah Allah yang selalu ditelaahnya dan disampaikan kepada muridnya. Sepeti Surat Ali Imran [3] ayat 104 yang berbunyi:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Maka Pada tahun 1912 atau tepatnya pada tanggal 18 Nopember 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Sejak awal Kiai Ahmad Dahlan menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini ternyata selain mendapatkan dukungan dan simpati, juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan lain-Iain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
Sampai akhir hayatnya (wafat tahun 1923) KH. Ahmad Dahlan menjadi ketua Pusat Muhammadiyah. Dengan bendera Muhammadiyah yang dikibarkannya sejak 1912 telah melakukan banyak pekerjaan besar bagi kemajuan bangsa dan masa depan umat Islam. Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
* KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
* Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.
* Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
* Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan. (zar, www.pkesinteraktif.com)